PERTANYAAN
itu mengusik benak saya ketika membaca banyak sekali berita dari Tanah
Air mengenai guru. Yang pertama ialah berita mengenai hasil survei yang
dilakukan Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) Universitas Islam
Nasional Syarief Hidayatullah mengenai persepsi guru pendidikan agama
Islam (PAI).
Dalam survei toleransi dan islamisme
itu, hasil penelitiannya menunjukkan bahwa meskipun sebagian besar guru
PAI merasa bahwa Pancasila adalah dasar negara yang sesuai untuk
Indonesia, mereka memiliki aspirasi yang kuat dalam penerapan syariat
Islam (Media Indonesia, 16 Desember 2016).
Berita kedua ialah yang terbaru mengenai
komentar Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam menanggapi hasil penelitan
oleh Oxfam di Indonesia mengenai ketimpangan ekonomi di Indonesia
(Detik, Finance, Februari 23, 2017).
Sri Mulyani melihat ketimpangan tersebut
sebagai bentuk tidak efektifnya RAPBN dan anggaran pendidikan sebagai
salalu satu sektor yang dianggap mampu memiminalisasi ketimpangan
tersebut.
Anggaran pendidikan meningkat tajam sejak 2006, dari Rp175 triliun menjadi Rp400 triliun.
Dalam anggaran tersebut, terdapat Rp25 triliun anggaran tunjangan guru yang juga meningkat sejak 2006.
Namun, hal itu menyisakan pertanyaan
besar mengenai hubungan peningkatan tunjangan tersebut dengan kualitas
pengajaran para guru bahkan kualitas pendidikan itu sendiri.
Identitas guru
Tulisan ini tidak berpretensi dapat memberikan jawaban yang sederhana dan hitam-putih akan teka-teki di atas.
Namun, saya berharap dapat mengajak kita
agar tidak membatasi diskusi kualitas guru hanya menggunakan kacamata
ekonomi dan profesionalisme semu.
Karena profesi guru tidak bisa dibatasi sebagai sebuah profesi, menjadi guru adalah sebuah identitas.
Guru yang mengajar di depan kelas
bukanlah orang yang bermain peran menjadi guru sehingga ketika bel
pulang berbunyi mereka berhenti jadi guru.
Guru ialah sebuah profesi yang juga
identitas diri karena merupakan ekspresi kelimuan, nilai dan karakter
serta semangat pengabdian.
Keseluruhan pribadi guru yang beragam ikut mewarnai proses belajar dan mengajar.
Menurut Loughran (2006), norma dan nilai
yang dianut guru akan muncul dalam pembelajaran dan memengaruhi
bagaimana siswa akan mengembangkan nilai dalam proses pembentukan
identitas dan perkembangan pribadinya.
Ketika diskusi peningkatan kualitas guru
tidak menyentuh pembentukan identitas calon guru sebagai pendidik pada
jenjang universitas serta kebijakan pengelolaan guru sebagai kelompok
profesi otonom yang memiliki otoritas keilmuan tersendiri dalam sekolah
maupun pada wilayah tertentu, ada yang hilang dari pendekatan
peningkatan kualitas guru itu sendiri.
Pendekatan berbasis pengembangan
identitas mulai menjadi pendekatan yang dilakukan sejak penelitian
kualitatif mengenai kehidupan guru marak dilakukan pada era 80-an.
Penelitian yang dilakukan Ivar Goodson
mengenai kehidupan dan kerja guru pada 1985, misalnya, memberikan
gambaran akan kehidupan guru berbasis sejarah kehidupan guru itu
sendiri, karier guru digambarkan sebagai sebuah narasi yang memetakan
pengaruh individu, lingkungan sekolah, dan kebijakan lokal serta
nasional terhadap konsepsi guru akan identitas profesional mereka.
Dengan perspektif ini, konteks sosial, ekonomi, dan politik ikut menjadi bagian dari narasi tersebut.
Hal itu memberikan sudut pandang baru akan realitas pengelolaan pendidikan yang kompleks, terutama dalam hal pengelolaan guru.
Penelitian yang dilakukan Bjorg pada
1998 di Indonesia secara kualitatif mengenai implementasi kurikulum
lokal sebagai bagian dari desentralisasi menggambarkan dualisme
identitas guru di Indonesia sebagai pegawai negeri sipil dan guru.
Identitas sebagai PNS merupakan
identitas dominan yang ditanamkan dan dibentuk kebijakan pada tataran
lokal dan nasional sehingga menjadi bagian utama identitas profesional
guru.
Hal ini berdampak kepada bagaimana guru memaknai perubahan yang sedang dilakukan melalui kurikulum (Bjorg, 2003).
Ditambah dengan adanya kebijakan
standardisasi hasil belajar melalui mekanisme ujian nasional, hal ini
berdampak kepada terciptanya jarak bahkan putusnya hubungan antara tugas
guru sehari-hari dan penilaian hasil pekerjaan mereka yang dilakukan
pihak ketiga dalam hal ini negara.
Marx (1927) menggambarkan fenomena ini
sebagai ‘keterasingan’ dan hal ini jamak ditemui pada buruh yang
melakukan pekerjaan yang sempit dan repetitif serta tidak memberikan
ruang bagi mereka untuk berpartisipasi aktif dalam hasil akhir. Ekspresi
dan input individu ditiadakan dalam pertarungan menuju efisiensi dan
efektivitas melalui standardisasi. Penyempitan identitas tersebut
berujung kepada rasa asing, tidak peduli, dan dalam beberapa kasus ialah
depresi.
Mengapa identitas guru menjadi penting dalam pembelajaran?
Karena identitas menjadi lensa yang digunakan guru dalam membuat keputusan mereka di kelas.
Keputusan guru PAI untuk mengajarkan
topik muamalah, misalnya, tidak hanya bergantung pada pengetahuan guru
akan konsep muamalah itu sendiri, tapi juga akan diwarnai konsepsi
identitas guru sebagai seorang muslim dan kepercayaannya mengenai
hubungan antarumat beragama.
Keputusan guru ekonomi untuk mengajarkan
sistem perekonomian akan diwarnai kepercayaannya akan struktur ekonomi
yang dianggap cocok untuk membangun Indonesia.
Bahkan opini sang guru terhadap membayar
pajak ataupun tidak menjadi bagian penting dari penjelasan akan sistem
ekonomi tersebut.
Keputusan guru PPKn dalam mengajarkan
demokrasi akan dipengaruhi kepercayaan politiknya dan keyakinannya bahwa
demokrasi adalah jalan politik yang dia anggap sesuai dan bagaimana dia
menjalankan hak politiknya dalam pilkada misalnya.
Ketika seorang guru membawa segenap identitasnya dalam mengajar, pelajaran menjadi hidup, bermakna, dan nyata bagi para siswa.
Hal inilah yang akan menjadi bagian dari pembentukan identitas, mendasari kepercayaan dan nilai-nilai siswa.
Namun, identitas inilah yang selama ini
diseragamkan dan distandardisasi menggunakan indikator yang
kadang-kadang tidak ada hubungannya sama sekali dengan pengajaran karena
mungkin indikator tersebut digunakan untuk menilai kinera PNS, bukan
guru.
Dalam hal ini, menurut Hargreaves &
Dennis (2008), standardisasi itu sendiri tidaklah buruk dan perlu jika
kita dapat menghindari jebakan standar untuk fokus kepada pencapaian
standar dan lupa akan realitas lokal.
Seolah-olah kita fokus menaiki tangga yang disandarkan pada dinding yang salah.
Dalam hal pendidikan, salah satu cara
untuk menghindari hal di atas ialah memberikan kesempatan dan
pendampingan kepada komunitas guru sebagai sebuah komunitas profesional
untuk menerjemahkan standar tersebut ke dalam realitas sang guru,
termasuk siswa yang mereka ajar.
Bahkan bagaimana standar dikomunikasikan
dan dirumuskan juga mensyaratkan dialog dan partisipasi dari para guru
sehingga standar yang ada merupakan gabungan dari kebijakan nasional
yang mengakomodasi realitas lokal tanpa mengacu kepada standar ideal
secara membabi buta.
Di sinilah identitas guru dengan segenap kemampuan, keterampilan, nilai dan kepercayaannya berperan cukup besar.
Salah satu ekspresi identitas tersebut digambarkan Cornett, Yeotis, Terwiliger (1990) sebagai ‘practical personal theory (PPT)’.
PPT seorang guru merupakan kepercayaan
sistematis (teori) yang memandu guru dan merupakan gabungan dari
pengalaman pribadi sang guru, termasuk internalisasi dari nilai-nilai
yang dianut (personal) serta pengalaman mengajar sebelumnya.
Ungkapan seperti ‘hafalan memang akan
sulit bagi anak lelaki, tetapi mereka bagus sekali dalam berhitung’
adalah contoh PPT yang bisa jadi tidak berdasarkan kepada teori
pendidikan tertentu.
Namun, secara tidak sadar itu memengaruhi guru dalam membuat kegiatan pembelajaran dan penugasan siswa.
Dalam hal ini, peran perguruan tinggi
dan fakultas pendidikan menjadi penting untuk membantu calon guru
membentuk (PPT) yang berbasis kepada teori pendidikan kontemporer dan
mempelajari bagaimana merumuskan personal theory berbasis kepada data
dan riset.
Dengan demikian, keterampilan riset di sini menjadi penting, apalagi jika dilakukan secara kolaboratif.
Komunitas guru di sekolah menjadi
menentukan karena ikut membentuk persepsi guru akan identitas dan tugas
mereka dan membantu guru menggabungkan teori dengan praktik di lapangan.
Kepemimpinan kepala sekolah yang memfasilitasi dan memberi dukungan menjadi mutlak.
Dalam bentuk sederhana, kebijakan kepala
sekolah seperti memberikan alokasi waktu yang cukup bagi guru untuk
berdiskusi misalnya.
Peran dinas pendidikan juga menentukan
bagaimana guru pada wilayah tertentu akan menjadi sebuah komunitas
profesional yang memiliki otonomi untuk menyesuaikan kurilkulum dengan
realitas siswa mereka serta kepercayaan untuk melakukan implementasinya
dan evaluasinya.
Satia Prihatin Zein ; Kepala Divisi Kurikulum, Yayasan Sukma, Jakarta; Program Doctor in Education and Society, University of Tampere, Awardee LPDP PK-82 |
MEDIA INDONESIA, 27 Maret 2017
Post A Comment: