DALAM
tradisi pendidikan Islam, hampir semua contoh perilaku tentang
sebaikbaiknya manusia selalu dinisbatkan terhadap pribadi Muhammad,
rasul semesta alam. Dalam pribadi Nabi banyak i’tibar atau pelajaran
yang bisa dilihat dan ditiru karena sepanjang hidupnya Nabi selalu
memberikan contoh perilaku yang seharusnya mudah diteladani umatnya.
Ambil contoh misalnya perilaku nirkekerasan, mudah memaafkan orang,
sangat toleran, dan teguh pada pendirian. Dalam beragam hikayat,
perkataan dan perilaku Nabi ialah sumber pencerahan kondisi aktual
masyarakat yang memiliki relevansi hingga hari ini.
Dalam keseharian, sebenarnya para guru
kita bisa secara implementatif mempraktikkan empat sifat Nabi yang
sangat populer di kalangan umat Islam dalam proses belajar-mengajar.
Jika para guru memiliki daya kritis dalam menilai siklus sifat Nabi,
sebuah sekolah pasti akan memiliki bangunan budaya sekolah yang kuat
karena karakter dan kesadaran individual para pemangku kepentingan
sekolahnya bergerak berdasarkan pemahaman dan kesadaran yang utuh
terhadap sifat Nabi tersebut. Yang sering terjadi sifat Nabi itu
kebanyakan dihafal sebagai panduan moral semata, tanpa ada keinginan
untuk menerjemahkannya dalam praktik keseharian di sekolah.
Siklus sifat Nabi
Agar menjadi siklus implementasi
pedagogis di sekolah, memahami dan mempraktikkan sifat Nabi dalam
keseharian di sekolah sebenarnya merupakan kebutuhan individu seseorang
tentang makna belajar. Karena itu, penting bagi setiap guru dan siswa
untuk mulai menyadari pentingnya daya kritis dan kecerdasan sebagai
dasar untuk terus belajar. Sebagaimana fathonah yang berarti
cerdas, ialah tugas seorang guru terus membaca agar kecerdasan terus
bertumbuh. Dari sisi kehidupan Nabi, tanda kecerdasan beliau terlihat
dari cara-cara Nabi menyelesaikan masalah, melihat kondisi sosial
masyarakat secara tajam, bahkan dengan proses yang tak pernah menyakiti
orang kecuali orang-orang yang memang membencinya.
Jelas terlihat meskipun Nabi amat populer dengan julukan ummiy,
beliau ialah seorang pemikir yang mempergunakan kelebihan akal pikiran
atau otak yang diberikan Tuhan untuk menganalisis setiap persoalan yang
ada. Jika di relung pikir setiap guru tumbuh kesadaran untuk terus
belajar dan membaca dalam rangka mempertahankan kecerdasan otaknya, daya
kritis dalam melaksanakan proses belajar-mengajar pasti akan penuh
dengan imajinasi dan kreativitas. Penanda kecerdasan dalam aspek
pedagogis ialah munculnya imajinasi dan kreativitas dalam mengelola
proses belajar-mengajar.
Setelah fathonah dilaksanakan
secara jelas dan terusmenerus, tugas seorang guru dalam konteks siklus
sifat Nabi selanjutnya ialah memberikan contoh dan keteladanan sikap
dalam praktik mengajar sehari-hari. Penanda amanah, sifat Nabi yang
kedua, ialah bertanggung jawab secara konkret dalam memberikan contoh
perilaku yang baik kepada siswa. Amanah tak hanya berarti bertanggung
jawab terhadap apa yang menjadi tugas utama seorang guru dalam mengajar,
lebih jauh daripada itu ialah bagaimana bertanggung jawab dalam
memberikan keteladanan. Tanpa keteladanan, mustahil bagi seorang guru
bisa dibilang sebagai orang yang amanah. Penting untuk diingat, untuk
menjadi amanah, seseorang dan apalagi seorang guru perlu memiliki
kecerdasan (fathonah) terlebih dahulu.
Jika praktik fathonah dan
amanah secara implementatif telah dijalankan dalam skema pedagogis
pengajaran sehari-hari, siklus sifat Nabi selanjutnya ialah tabligh atau
menyampaikan. Dalam bahasa sosiologis, tabligh sebenarnya merupakan
kemampuan atau kompetensi sosial seorang guru dalam menjalin hubungan
dan berinteraksi dengan semua siswa, sejawat guru, kepala sekolah juga
dengan masyarakat atau orangtua siswa. Network atau silaturahim
atau kemampuan berkomunikasi dengan baik dan santun mungkin relevan
untuk disematkan terhadap para guru yang ingin memperoleh tanda sebagai
ahli waris sifat Nabi yang ketiga ini. Bisa dibayangkan jika seorang
guru tak memiliki kemampuan bersilaturahim dan berkomunikasi dengan
baik, pasti secara otomatis dia tidak cerdas (fathonah) dan tak suka menjadi teladan (amanah) bagi orang lain.
Bisa dikatakan jika seseorang ingin
mewarisi sifat-sifat Nabi pada dirinya, secara individual yang perlu
ditanamkan dan dilakukan ialah menunjukkan kecerdasan dalam belajar,
mampu memberikan teladan secara konsisten, serta memiliki kemampuan
menjalin silaturahim kepada setiap orang. Mungkin terbaca hal itu
sangatlah sederhana, tetapi tanpa disiplin individual yang terus-menerus
untuk mempraktikkannya, akan mustahil bagi seorang guru memperoleh
kategori bisa dan dapat dipercaya (siddiq) oleh siswa, rekan sesama guru, kepala sekolah, atau bahkan masyarakat/orangtua siswa.
Sebagai sifat nabi keempat, siddiq
jelas merupakan label yang diberikan orang lain terhadap seseorang yang
telah membuktikan kecerdasannya untuk terus mau belajar, mampu
memberikan teladan kebaikan, serta memiliki keterampilan berkomunikasi
yang dibutuhkan. Sifat siddiq merupakan hasil atau output dari
usaha perseorangan dalam membuktikan diri menjadi orang yang bisa
dipercaya. Seorang guru bisa dikatakan berhasil dan dipercaya siswa atau
masyarakat jika memiliki usaha sendiri dalam membuktikan diri untuk
terus belajar, memberi teladan, dan bersilaturahim dengan baik.
Jika hidup adalah sebuah siklus hidup-mati-dan-hidupkembali sebagaimana semua agama meyakini soal hari kebangkitan (resurrection),
seharusnya para guru muslim tak sulit untuk belajar dari siklus sifat
Nabi Muhammad SAW yang penuh teladan sehingga kerumitan persoalan
belajar-mengajar selalu bisa diatasi dan memperoleh jalan keluar yang
sebenarnya. Pentingnya mempelajari siklus sifat Nabi secara benar ialah
sebuah tuntutan keharusan bagi setiap guru muslim. Jika tidak, hal itu
artinya sama dengan bentuk kebohongan, sementara hampir semua umat Islam
mengaku mencintai Nabi Muhammad, tetapi keteladanan Muhammad dalam
siklus sifat hidupnya tidak pernah dipahami dan dipraktikkan secara
benar. Dalam bahasa agama kebohongan semacam ini bisa disebut sebagai
kelalaian (wayl), sebuah perilaku rata-rata masyarakat jahiliah yang senang berbohong dan meremehkan persoalan.
Ahmad Baedowi ; Direktur Pendidikan Yayasan Sukma, Jakarta |
Post A Comment: