Dalam
berbagai pelatihan guru, saya sering kali mengajak peserta untuk
mengingat dan mengenang sosok-sosok guru yang paling mengesankan dan
berjasa meraih kesuksesan hidup kita hari ini. Lalu, saya minta mereka
menyebut nama dan pada strata sekolah apa, serta kelas berapa. Biasanya
peserta terbagi tiga kategori. Ada yang jawabannya mengambang, tidak
memiliki ingatan, dan kesan kuat terhadap guru-gurunya. Lalu ada yang
bisa menyebut beberapa nama dan kenangan kuat yang masih terekam. Ada
lagi yang bisa menceritakan lebih detail, lebih banyak nama guru yang
diingat dan mengapa sosok-sosok guru itu begitu terekam kuat dalam
ingatan.
Apakah kelebihan dan keunikan mereka
sehingga pantas ber terima kasih dan mendoakan mereka. Setelah selesai
berbagi cerita tentang guru, lalu saya lontarkan pertanyaan; andaikan
murid-murid Anda disurvei dibagi pertanyaan, apa kesan mereka tentang
Anda, apakah kira-kira jawaban mereka? Jangan-jangan tak berbekas di
hati para siswa. Jadi, sebaiknya pimpinan sekolah perlu membuat evaluasi
tahunan untuk memotret respons murid terhadap guru dan sekolahnya.
Ini penting dilakukan untuk peningkatan
kualitas guru-guru, karena fase dan proses sekolah yang dijalani siswa
dari tahun ke tahun ibarat menata batu bata bagi bangunan kepribadian
seseorang yang akan berpengaruh kuat pada perjalanan hidupnya sampai
tua. Jangan sampai bibit unggul siswa malah tidak berkembang karena
gurunya yang salah asuh. Saya merasa beruntung bertemu guru dan dosen
yang mengukirkan kesan kuat dalam memoriku.
Sejak sekolah dasar sampai perguruan
tinggi, saya masih ingat bahkan hatiku mencatat siapa guru dan dosen
yang berjasa dan punya andil membentuk diriku. Ketika SD, dulunya
namanya SR atau sekolah rakyat, saya pernah malas bersekolah. Protes
pada kondisi keluarga yang tidak nyaman. Ibuku meninggal ketika umurku
masuk sembilan tahun. Entah selang berapa lama, ayahku kawin lagi, dan
tidak lama ibu tiriku meninggal. Lalu, ayahku kawin lagi untuk yang
ketiga kali. Saya masih ingat waktu itu populer lagu ibu tiri yang
isinya cukup menyayat dan menyudutkan posisi ibu tiri.
Setelah besar, saya baru sadar bahwa
lagu itu provokatif, tidak mendidik. Tetapi yang pasti, dulu saya tidak
betah di rumah karena kehilangan gravitasi seorang ibu kandung yang kata
tetangga sangat memanjakan saya. Ketika saya enggan sekolah, Pak
Suparmin, guruku kelas tiga SD, datang ke rumah membujuk agar saya
bersekolah lagi. Dia orangnya lembut, wajahnya selalu senyum, dan sabar
menghadapi anak didik. Ada lagi guru-guruku lain di SD yang semuanya
baik, melakukan pendekatan pribadi pada muridnya, yaitu Bu Ambar, Pak
Suparman, Pak Jumali, Bu Romlah yang ke semuanya menumbuhkan benih
imajinasi dan idealisasi betapa mulianya menjadi guru.
Mereka membuka kan jendela dunia masa
depan bagi anak-anak kampung seperti saya, bahwa dunia itu luas. Lanskap
kehidupan tidak selebar kampungku. Mungkin karena pengaruh guru-guruku
itu sejak kecil saya ingin jadi guru, dan sekarang sudah melebihi
target, secara administratif sebagai guru besar. Ketika pak guru atau bu
guru datang ke sekolah, anak-anak berjejer berdiri menyambut sambil
mengucapkan: Selamat pagi Pak Guru/Bu Guru. Sepeda nya disambut oleh
siswa, lalu disandarkan di tempat parkir sepeda, tasnya dibawakan ke
ruang kelas.
Terjalin hubungan batin antara guru dan
murid. Pak Guru dan Bu Guru menjadi orang tua kedua. Kenangan ini
mungkin saja subjektif. Namun, itu semua tak pernah hilang dari memori
saya. Bahkan, sudut-sudut sekolahpun masih ingat dan bisa saya ceritakan
kembali. Ketika masuk pesantren, hubungan batin terjalin tidak saja
antara kiai, guru dan murid/santri, tetapi juga dengan sesama santri
karena setiap hari tinggal ber sama selama 24 jam. Kata murid dan santri
lebih tepat diterjemahkan learner atau pelajar karena keduanya
berkonotasi sebagai subjek yang aktif, yang mencintai ilmu, yang
berpusat di pesantren.
Mereka merupakan komunitas pembelajar (learning community).
Secara etimologis, pesantren adalah tempat berkumpulnya orang-orang
yang berbudi luhur dan mencintai ilmu pengetahuan di bawah asuhan
seorang guru, dan para murid itu disebut santri. Baik kata pesantren,
santri, asrama, guru, kesemuanya itu berasal dari tradisi Hindu. Ini
juga menunjukkan bahwa di Indonesia dalam beberapa aspek terjadi
kesinambungan antara tradisi Hindu dan tradisi Islam. Sebuah paham
keislaman yang inklusif. Yang merangkul, bukan memukul. Yang
mendekatkan, bukan menjauhkan dan memisahkan
Komaruddin Hidayat ; Guru Besar Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah |
Post A Comment: